Sabtu, 15 Maret 2008

Kepentingan Politik Versus Kepentingan Kemanusiaan


Genangan air Bengawan Solo yang merendam 117 desa di 14 kecamatan di Bojonegoro, pada awal tahun 2008, membuat pemerintah harus memegang kepala yang kesekian kalinya. WALHI Jawa timur, WALHI Jogjakarta dan WALHI Eksekutif Nasional dengan segenap komponen masyarakat dan mahasiswa mendirikan sebuah posko Bojonegoro Crisis Centre. Dari posko inilah semua komponen ini melakukan mandat kemanusiaannya. Pusat kordinasi yang berpusat di alun-alun kota, menjadi harapan semua komponen untuk bisa berkordinasi dalam penanganan banjir di Bojonegoro. Harapan tinggal harapan, ternyata kepentingan politik lebih berpengaruh dari pada kepentingan kemanusiaan.

Banjir yang melanda Bojonegoro berbarengan dengan berakhirnya Pemilihan Kepala Daerah Bojonegoro. Sayangnya sang terpilih belum dilantik sehingga tidak memiliki kekuatan untuk mengkordinasikan seluruh perangkatnya dalam merespon musibah ini. Lebih disayangkan lagi tak terpilih angkat tangan dengan musibah yang menimpa warganya. ”Siapa suruh gak milih saya!!!” , sebuah statement yang keluar dari mulut tak terpilih ketika seluruh masyarakatnya teriak atas ketidak berdayaan mereka. Hektaran sawah gagal panen, ratusan rumah terendam, pasokan makanan menipis, hal ini tidak membuat tak terpilih untuk meninggalkan kesan tanggungjawab kepada warga di akhir jabatannya.

WALHI bersama komponen masyarakat dan mahasiswa setempat, mencoba untuk mendorong SATKORLAK untuk menjalankan perannya sebagai pusat kordinasi, lagi-lagi hal itu tidak terwujud. Aksi mematikan telpon genggampun dilakukan Kepala SATKORLAK ketika seorang anggota DPRD menghubungi untuk menanyakan kondisi terakhir Bojonegoro. Hal itu dilakukan anggota DPRD karena banyak masyarakat yang mengeluh karena Bupatinya tidak melakukan tindakan responsif terhadap kondisi tersebut. Kekecewaan karena tidak terpilih sebagai Bupati adalah akar dari ketidakpedulian pemerintah daerah Bojonegoro terhadap musibah yang terjadi.

Semua inisiatif muncul dari masyarakat. Mulai dari ngecrek di pinggir jalan, mendatangi posko-posko bantuan sampai kepada membangun relasi sosial antara desa terendam dengan desa yang tidak terendam. Kordinasi antar posko juga dilakukan oleh sekelompok mahasiswa lewat Bojonegoro Institute.

Praktis SATKORLAK tidak melakukan fungsi kordinatif sebagaimana mestinya. Pemerintah daerah sebagai institusi yang harus bertanggungjawabpun tidak melakukan tugasnya dengan baik. Krisis kepercayaan akan terus tumbuh di Republik Bencana ini ketika kepentingan politik lebih dikedepankan dari kepentingan kemanusiaan.

Tegal Parang, 16 Maret 2008 00:48

Bruang Bangor

Minggu, 02 Maret 2008

Jakarta Kebanjiran


Lagi-lagi banjir menggenangi Ibu Kota Jakarta. Masalah yang muncul ga berbeda dengan banjir-banjir sebelumnya, malah semakin bertambah. Dari mulai kemacetan lalu lintas, akses jalan terputus sampai mbolosnya para karyawan dan pegawai negeri dari perusahaan dan instansi tempat mereka bekerja. Alasannya cukup konkrit, jalanan banjir!!.

Jakarta memang kota metropolitan, tapi responnya terhadap banjir akhir-akhir ini kok ndeso banget. Joke pun mulai bermunculan, mulai dari mobil FOKE sampai kepada pengharusan penerapan PERPRES No.36/2005 oleh WAPRES JK. Di salah satu media cetak online FOKE sempat mengutarakan kegagahannya menggunakan mobil sekelas STRADA. Sakit!!!

Tahun demi tahun wilayah sebaran banjir di DKI Jakarta makin meluas. Warga perumahan megah sudah tidak dapat lagi tidur dengan nyenyak ketika hujan turun terus menerus mengguyur kawasannya. Perasaan was-was sambil mengemas-ngemaspun dilakukan. Maklum ”warga baru” daerah banjir!!!.

Sepertinya kita sudah lupa dengan pelajaran IPA saat disekolah dasar tentang sifat dan karakter air. Sehingga kita tidak pernah menolak kebijakan-kebijakan pemerintah yang bisa ”mendatangkan air” ke rumah-rumah kita.

Alih fungsi lahan dan mudahnya izin pendirian bangunan di DKI Jakarta berimplikasi semakin minimmnya kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai kawasan resapan air dan parkir air. Padahal dalam master plan DKI Jakarta tahun 1965-1985 Ruang Terbuka Hijau masih ada 27,6 persen. Kemudian pada Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) tahun 1985-2005 pemerintah hanya memproyeksikan RTH 26,1 persen. Dan pada priode ketiga yang dimasukkan dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta tahun 2000-2010, DKI Jakarta hanya memproyeksikan RTH 13,49 persen dari seluruh luasan Kota Jakarta. Dan dari data yang dikeluarkan oleh Dinas Pertamanan dan Keindahan Kota pada tahun 2001 menyatakan bahwa RTH di DKI Jakarta hanya mencapai 9 persen.

Konversi lahan RTH di DKI Jakarta berupa Hutan Kota, Taman kota dan cagar buah justru terjadi setelah keluarnya Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Perkotaan. Dimana dalam peraturan ini menyatakan bahwa setiap kota harus mengalokasikan Ruang Terbuka Hijau sebesar 40-60 persen dari seluruh luasan kota. Dari periodeisasi pengelolaan ruang/lahan, dapat diketahui bahwa percepatan revisi RUTR tahun 1985-2005 menjadi Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta tahun 2000-2010 merupakan bentuk legitimasi pemerintah untuk melakukan pemutihan dan alih fungsi lahan RTH menjadi kawasan komersil. Dari data yang ada dapat diperkirakan bahwa disepanjang tahun 1990 hingga tahun 1997 telah terjadi ekploitasi besar-besaran RTH. Dan mengalami peningkatan tajam disepanjang tahun 1999-2006. Alih fungsi lahan yang tampak kasat mata adalah pembangunan apartemen dan pusat-pusat perbelanjaan di kawasan selatan dan timur Jakarta. Padahal sesuai dengan Perda Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta tahun 2000-2010 menyatakan bahwa kawasan Jakarta Selatan merupakan kawasan konservasi air.

Pada tahun 2006, lebih dari 30 pusat perbelanjaan, apartemen dan perkantoran skala besar dibangun diseluruh Jakarta. Pada periode 2007-2008, diproyeksikan akan dibangun sekitar 80 bangunan sebagai pusat perbelanjaan, apartemen, dan perkantoran baru. Pembangunan gedung-gedung tersebut juga akan menambah beban bagi ekologi karena minimnya lahan yang ada di Jakarta. Dan ditenggarai menyebabkan hilang dan rusaknya banyak situ,danau dan rawa-rawa yang merupakan daerah parkir air.

Konversi lahan basah (wetland) berupa situ (danau kecil) dan kawasan esturia (Hutan Angke Kapuk dan hutan kota di Pademangan) serta di berbagai kawasan di Jakarta menjadi daratan dengan tujuan pemukiman, lapangan golf, kondominium atau sentra bisnis (mall, plaza), telah menghilangkan fungsi kawasan parkir air. Ribuan meter kubik air yang tidak mempunyai tempat parkir, berimplikasi pada terjadinya genangan di mana-mana. Tak pelak lagi, petaka banjir besar terjadi di Jakarta dan sekitarnya.

Minimnya keberpihakan dalam pengelolaan lingkungan hidup telah memicu percepatan bencana ekologis di DKI Jakarta. Hutan Angke Kapuk misalnya sebelum dikonversi menjadi daratan merupakan rawa-rawa hutan bakau dengan kedalaman air rata-rata 0,8 m. Dengan luas rawa alami 1.140,13 Ha atau seluas 11.401.300 M2 maka rawa-rawa tersebut mampu menampung air hingga 9.121.040 M3. Ketika selesai kawasan yang direklamasi luasnya mencapai 831,63 Ha untuk peruntukan komersil, maka akan dikemanakan 6.653.040 M3 air yang selama ini parkir di kawasan tersebut?. Kerusakan yang terjadi pada situ/danau ditandai dengan adanya pendangkalan situ, pengurukan situ dan alih fungsi situ. Sekitar 80 persen situ yang tersebar di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi diketahui mengalami kerusakan. Berdasarkan data Kementrian Lingkungan Hidup, ada 205 situ di Jabodetabek mengalami kerusakan. Dari jumlah tersebut, 115 diantaranya dalam kondisi kritis dan dan sisanya rusak sedang.

Banjir dan kekeringan di Jakarta telah menjadi bagian dari kehidupan bagi rakyat Jakarta, akan tetapi sampai kapan rakyat akan terus menderita dan akan mampu bertahan dengan kondisi seperti ini. Bila melihat data dan fakta yang ada jelas-jelas bahwa banjir yang terjadi di Jakarta merupakan murni bencana ekologis. Bencana yang terjadi akibat keserakahan dan salah urusnya sumber daya alam yang ada di kota Jakarta maupun dikawasan peyangggah Jakarta.


Tegal Parang, 3 Februari 2008 00.33 WIB


Beruang Bangor