Genangan air Bengawan Solo yang merendam 117 desa di 14 kecamatan di Bojonegoro, pada awal tahun 2008, membuat pemerintah harus memegang kepala yang kesekian kalinya. WALHI Jawa timur, WALHI Jogjakarta dan WALHI Eksekutif Nasional dengan segenap komponen masyarakat dan mahasiswa mendirikan sebuah posko Bojonegoro Crisis Centre. Dari posko inilah semua komponen ini melakukan mandat kemanusiaannya. Pusat kordinasi yang berpusat di alun-alun kota, menjadi harapan semua komponen untuk bisa berkordinasi dalam penanganan banjir di Bojonegoro. Harapan tinggal harapan, ternyata kepentingan politik lebih berpengaruh dari pada kepentingan kemanusiaan.
Banjir yang melanda Bojonegoro berbarengan dengan berakhirnya Pemilihan Kepala Daerah Bojonegoro. Sayangnya sang terpilih belum dilantik sehingga tidak memiliki kekuatan untuk mengkordinasikan seluruh perangkatnya dalam merespon musibah ini. Lebih disayangkan lagi tak terpilih angkat tangan dengan musibah yang menimpa warganya. ”Siapa suruh gak milih saya!!!” , sebuah statement yang keluar dari mulut tak terpilih ketika seluruh masyarakatnya teriak atas ketidak berdayaan mereka. Hektaran sawah gagal panen, ratusan rumah terendam, pasokan makanan menipis, hal ini tidak membuat tak terpilih untuk meninggalkan kesan tanggungjawab kepada warga di akhir jabatannya.
WALHI bersama komponen masyarakat dan mahasiswa setempat, mencoba untuk mendorong SATKORLAK untuk menjalankan perannya sebagai pusat kordinasi, lagi-lagi hal itu tidak terwujud. Aksi mematikan telpon genggampun dilakukan Kepala SATKORLAK ketika seorang anggota DPRD menghubungi untuk menanyakan kondisi terakhir Bojonegoro. Hal itu dilakukan anggota DPRD karena banyak masyarakat yang mengeluh karena Bupatinya tidak melakukan tindakan responsif terhadap kondisi tersebut. Kekecewaan karena tidak terpilih sebagai Bupati adalah akar dari ketidakpedulian pemerintah daerah Bojonegoro terhadap musibah yang terjadi.
Semua inisiatif muncul dari masyarakat. Mulai dari ngecrek di pinggir jalan, mendatangi posko-posko bantuan sampai kepada membangun relasi sosial antara desa terendam dengan desa yang tidak terendam. Kordinasi antar posko juga dilakukan oleh sekelompok mahasiswa lewat Bojonegoro Institute.
Praktis SATKORLAK tidak melakukan fungsi kordinatif sebagaimana mestinya. Pemerintah daerah sebagai institusi yang harus bertanggungjawabpun tidak melakukan tugasnya dengan baik. Krisis kepercayaan akan terus tumbuh di Republik Bencana ini ketika kepentingan politik lebih dikedepankan dari kepentingan kemanusiaan.
Tegal Parang, 16 Maret 2008 00:48Bruang Bangor
1 komentar:
Hello. This post is likeable, and your blog is very interesting, congratulations :-). I will add in my blogroll =). If possible gives a last there on my blog, it is about the TV de LCD, I hope you enjoy. The address is http://tv-lcd.blogspot.com. A hug.
Posting Komentar