Kamis, 17 Juli 2008

Egoisme: Penyebab Kerusakan Alam & Lingkungan

Apa hubungan egoisme dengan kerusakan lingkungan? Ada! Egoisme dan ketidakpedulian kita adalah penyebab timbulnya segala permasalahan lingkungan yang kita alami hari ini.

Banyak dari kita yang hanya memikirkan kenyamanan pribadi tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi pada lingkungan di sekitar kita maupun lingkungan global secara keseluruhan. Hanya karena merasa punya uang, kita tidak mengindahkan peringatan dan himbauan untuk melakukan penghematan energi.

“Ah, saya mampu membayar berapapun tagihan listrik yang ada. Jadi terserah saya dong untuk memakai listrik sesuka hati saya. Saya sanggup membeli BBM berapapun yang saya mau, jadi terserah saya dong mau beli mobil yang borosnya kayak apa.” Renungkanlah: Berapa banyak energi dan sumber daya yang harus terbuang sia-sia hanya karena orang-orang ingin menikmati kenyamanan yang sesungguhnya tidak benar-benar mereka perlukan. Berapa banyak energi dan sumber daya yang terbuang sia- sia hanya karena mereka ingin terlihat tampil bergengsi.

Orang-orang seringkali membeli hal-hal yang tidak mereka perlukan, mengganti barang-barang yang semestinya masih bisa digunakan hanya karena alasan bosan. Kita tidak pernah memikirkan berapa banyak tenaga dan sumber daya planet ini yang rusak untuk memenuhi kebutuhan egois kita tersebut.

Camkanlah satu hal: Uang Anda memang bisa membeli berliter-liter BBM, tetapi uang tersebut tidak dapat mengembalikan tiap liter BBM yang telah Anda ambil dari alam. Butuh jutaan tahun untuk menghasilkan BBM yang Anda nikmati tersebut. Janganlah memikirkan kenyamanan hidup Anda sendiri. Setidaknya pikirkanlah keadaan generasi penerus Anda, mereka harus menjalani hidupnya dengan segala sumber daya yang sangat terbatas karena ulah orang tua, kakek nenek, dan nenek moyangnya di masa lalu.

Lalu Anda akan berpikir, tetapi bukankah kita memiliki energi alternatif seperti bio fuel, hidrogen, dan lain- lain? Tetap saja semua itu tidak gratis, selalu ada yang harus dikorbankan. Biofuel menyebabkan kerusakan lingkungan karena penanaman tanaman bahan bakar tersebut membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Hidrogen masih mahal dan belum dapat diproduksi dengan efisien. Bagaimana seandainya planet kita sudah hancur duluan sebelum kita dapat menikmati semua kenyamanan teknologi tersebut? Saat ini kita berpacu dengan waktu. Begitu banyak orang di belahan dunia lainnya yang sangat membutuhkan tiap tetes BBM yang kita nikmati, tiap tetes air bersih yang kita nikmati, dan hal-hal mendasar lainnya untuk mendukung kehidupan mereka. Berhematlah dalam segala bentuk yang Anda bisa. Lakukanlah untuk dunia, lakukanlah untuk generasi penerus Anda. (dari buku GLOBAL WARMING; Mengancam Keselamatan Bumi !!!)


Jogjakarta

Rabu, 25 Juni 2008

Srandul

Srandul adalah sejenis kesenian yang dimainkan oleh para pria dengan di iringi alunan kendang, kenong, gong dan angklung. Pertunjukkan yang berdurasi kurang lebih delapan jam ini menceritakan tentang aktifitas keseharian masyarakat, mulai dari memetik buah sampai kepada proses mencari pasangan. Pertunjukkan ini menuntut para pemain untuk menguasai tarian dan syair-syair yang di lantunkan.

Para pelakon sambil mengitari sebuah obor melantunkan syair-syair disertai dengan gerakan tari khas. Uniknya pertunjukkan ini meskipun ada tokoh perempuan, tetapi tetap saja yang memerankan seorang pria dengan memakai atribut wanita. Alasannya karena seorang wanita tidak pantas menari dan nembang di hadapan orang yang bukan muhrimnya. Nilai ini sangat kental kaitannya dengan ajaran-ajaran Islam. Pemain perkusi tidak hanya menabuh dan memukul alat musik, tetapi juga melantunkan syair sebagai sahutan lantun dari para aktor yang di mainkan

Syair-syair yang dilantunkan juga menggambarkan rasa syukur masyarakat terhadap sang Pencipta atas limpahan rizqy yang diberikanNya. Hal ini tercermin dalam beberapa syair yang mengagungkan nam Alloh dan Rasulullah. Dalam setiap pertunjukkan kurang lebih ada 25 syair yang dilantunkan secara bergantian sesuai dengan lakon yang diperankan.

Kesenian yang sudah hampir 50 tahun ditelan zaman ini mulai dimainkan kembali oleh generasi ketiga di Jepitu, Gunung Kidul. Melalui pelaku-pelaku kesenian yang masih hidup, mereka menggali kembali tentang tekhnik serta syair-syair yang dilantunkan saat pertunjukkan.

Tembi, Bantul, Jogjakarta 22 Juni 2008 14.33 WIB


Bruang .

Senin, 09 Juni 2008

BENCANA ADALAH PEMBUNUHAN TERSTRUKTUR

“Bencana adalah pembunuhan terstruktur”. Mendengar kalimat ini semua orang pasti akan bertanya-tanya bahkan ada yang akan meneriaki sinting. Tapi lain halnya dengan orang yang paham dan mengerti tentang apa itu bencana, mengapa bencana bisa terjadi dan faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya bencana. Mereka akan secara spontan mengamini kalimat tersebut.

Dalam ISDR bencana didefinisikan sebagai gangguan serius terhadap keberfungsian masyarakat sehingga menimbulkan korban jiwa, material dan maupun lingkungan yang melebihi kemampuan orang yang mengalami musibah untuk mengatasi dengan sumber daya yang tersedia. Persoalan bencana bukan hanya persoalan dampak, tetapi juga ada persoalan ancaman, kerentanan dan kemampuan yang ada. Ketika kemampuan masyarakat lebih tinggi untuk mereduksi ancaman, maka tidak akan terjadi bencana. Karena secara pribadi maupun kelompok mereka dapat mengatasinya dengan sumber daya yang ada, tanpa memerlukan bantuan dari pihak luar.

Rentetan kejadian bencana yang terjadi dalam lima tahun belakangan ini, lebih banyak didominasi oleh salah urus lingkungan dan “pembodohan” yang dilakukan oleh “oknum” demi terwujudnya kepentingan sepihak. Mulai dari banjir bandang, tanah longsor, kelaparan, kekeringan, sampai konflik sosial. Banjir tidak akan terjadi ketika tata ruang wilayahnya pro lingkungan, longsor tidak akan terjadi jika tata kelola lahannya juga pro lingkungan. Tata wilayah dan kelola lahan yang tidak pro terhadap lingkungan didasarkan atas kebijakan-kebijakan yang tidak pro lingkungan. Dan kebijakan yang tidak pro lingkungan didasarkan atas kepentingan dan keserakahan. Sehingga sunnatullah yang seharusnya menjadi berkah, malah menjadi masalah.

Para imam di negeri ini tahu betul dampak dari kebijakan yang mereka keluarkan. Dan mereka paham betul apa yang seharusnya dilakukan. Tapi mengapa tidak ada usaha serius dari mereka untuk mengeluarkan kebijakan yang dapat melindungi dan mensejahterakan rakyatnya.

Kronologis di atas sudah cukup untuk kita berpendapat bahwa bencana memang diciptakan. Dan ironisnya ketika bencana memang diciptakan, masyarakat “kebal bencana” tidak serta diciptakan. Ini mengapa ancaman yang ada dapat menjadi bencana dan menimbulkan risiko yang tinggi bagi masyarakat.

Kebijakan dan peningkatan kapisitas masyarakat dalam mereduksi risiko bencana menjadi kunci utama dalam pengelolaan bencana di Indonesia. Jika dua hal ini tidak terealisasikan dengan baik, maka korban akan terus bertambah dan kita dapat menyimpulkan bahwa kita memang di skenariokan untuk mati oleh bencana.


Kemandoran 4 Juni 2008 01:05 WIB

BruangBangor

Jumat, 30 Mei 2008

Menyikapi kenaikan BBM dengan akal sehat

“Buat apa ada pemerentah kalo idup terus-terusan susah!!”, sebuah celotehan ringan dari seorang musisi yang terkenal dengan lagu BENTOnya.

Pemerintah dengan segala kekuasaan dan kearoganannya semakin menghambat kemakmuran masyarakat di negeri ini. Kebijakan-kebijakan yang dibuat semakin mempersempit harapan kita untuk makmur, sejahtera dan bermartabat. Mungkin sudah saatnya petani, nelayan, buruh dan elemen-elemen masyarakat lainnya membuat sebuah Negara-negara kecil di desa, kampung, dusun, jorong dengan system dan kebijakan yang berpihak kepada mereka. Negara sampai hari ini hanya memberikan mimpi soal kesejahteraan dan dengan naiknya harga BBM, mimpi itu semakin jauh untuk di raih.
Demonstrasi yang marak terjadi hanya menjadi tontonan sore menemani minum teh para pemangku kebijakan negeri ini. Semua tenaga, pikiran dan strategi kita hari ini hanya mengarah kepada bagaimana menggulingkan rezim ini, tanpa ada strategi sedikitpun untuk bias mensejahterakan diri kita sendiri.

“Negara bertanggung jawab atas kesejahteraan dan kemakmuran bangsa ini”, kata-kata ini baiknya kita simpan dulu. Tidak akan ada perubahan yang signifikan dengan teriakan-teriakan itu saat sekarang ini. Perubahan yang signifikan akan kita rasakan ketika kita mulai merubah pola fikir, pola hidup dan pola bermasyarakat kita. Si miskin tidak akan kelaparan saat ini, jika si kaya berbondong-bondong membawakan jatah lebih makan mereka ke rumah-rumah si miskin. udara kita sedikit menjadi lebih segar karena banyak pengendara motor yang berganti kendaraan dengan sepeda. Mobil-mobil nogkrong di garasi-garasi mewah karena pemiliknya beralih menjadi penumpang Bus.

Capek!!! Itu kata yang pasti muncul ketika kita melakukan hal di atas. Lebih capek lagi kalau kita terus memaksa pemerintah sementara pemerintahnya tidak mau di paksa. Demonstari untuk menggulingkan rezim sekarang dan mengganti rezim baru pun tidak akan menjamin kita akan lebih baik dari sekarang. Mogok kerja pun tidak akan membuat dapur kita terus ngebul, so…. Apa yang seharusnya kita lakukan??? Bertahan hidup dengan segala pikiran, usaha, kekerabatan dan sumberdaya yang kita miliki menjadi solusi yang paling tepat.

Seorang pakar pernah berkata “ancaman akan menjadi bencana ketika masyarakatnya rentan”. Kerentanan muncul ketika masyarakat tidak mau merubah pola hidup, pola fikir dan pola kekerabatan. Kenaikan harga BBM bukanlah sebuah ancaman yang akan mengakibatkan bencana , jika kita mau dan sadar untuk mereduksi dengan segala kemampuannya.

Kemandoran, 24 Mei 2008, 00.00 WIB


Bruang

Minggu, 27 April 2008

BENCANA EKOLOGIS DAN KEBERLANJUTAN INDONESIA

Bencana adalah suatu situasi dimana cara masyararakat untuk hidup secara normal telah gagal sebagai akibat dari peristiwa kemalangan luarbiasa, baik karena peristiwa alam ataupun perbuatan manusia (Sphere Project, 2000).

Pengantar
Indonesia adalah negeri yang rawan dan rentan terhadap bencana, baik yang berasal dari alam maupun yangterjadi akibat perbuatan manusia . Dalam kurun waktu lima tahun, 1998-2004 terjadi 1150 kali bencana, dengan korban jiwa 9900 orang serta kerugian sebesar Rp 5922 miliar. Tiga bencana utama adalah banjir (402 kali, korban 1144 jiwa, kerugian 647,04 miliar Rp), kebakaran (193 kali, korban 44 jiwa, kerugian 137,25 miliar Rp) dan tanah longsor (294 kali, korban 747 jiwa, kerugian 21,44 miliar Rp)-Bakornas PBP 2005.

Menarik, karena tiga bencana tersebut adalah bencana akibat perbuatan manusia. Kartodihardjo dan Jhamtani menyebut hal ini sebagai bencana pembangunan, yang didefinisikan sebagai gabungan faktor krisis lingkungan akibat pembangunan dan gejala alam itu sendiri, yang diperburuk dengan perusakan sumberdaya alam dan lingkungan serta ketidakadilan dalam kebijakan pembangunan sosial. Tulisan ini karenanya ingin menyoroti bencana dari yang timbul akibat ulah dan kelalaian manusia terhadap lingkungan dan aset alam dan tidak membahas bencana murni karena gejala alam seperti tsunami dan gempa bumi.

Salah Urus Berujung Bencana

Bencana seperti banjir, kekeringan dan longsor sering dianggap sebagai bencana alam dan juga takdir. Padahal fenomena tersebut, lebih sering terjadi karena salah urus lingkungan dan aset alam, yang terjadi secara akumulatif dan terus-menerus.

Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani , bencana banjir mencakup 32,96% dari jumlah kejadian bencana, sementara tanah longsor merupakan 25,04% dari total kejadian bencana. Bahkan, di pesisir Jawa3, pada kurun waktu 1996 hingga 1999 saja, setidaknya terdapat 1.289 desa terkena bencana banjir. Jumlahnya semakin meningkat hampir 3 kali lipatnya (2.823 desa) hingga akhir tahun 2003, yang juga merupakan implikasi dari rusaknya ekosistem pesisir akibat dari konversi lahan, destructive fishing, reklamasi, hingga pencemaran laut (dimana 80% industri di Pulau Jawa berada disepanjang pantai utara Jawa)- (Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia, Equinox Publishing, 2006).

Selain banjir, kekeringan adalah bencana lain yang semakin kerap terjadi di Indonesia. Belakangan ini musim kemarau di Indonesia semakin panjang dan tidak beraturan , meski secara geografis dan alamiah Indoensia berada di lintasan Osilasi Selatan-El Nino (ENSO). Misalnya, walau kemarau 2003 termasuk normal, namun tercatat 78 bencana kekeringan di 11 propinsi, dengan wilayah yang terburuk dampaknya adalah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dampak kekeringan yang utama adalah menurunnya ketersediaan air, baik di waduk maupun badan sungai, yang terparah adalah pulau Jawa (Status Lingkungan Hidup Indonesia 2004, Jakarta, KLH). Dampak lanjutannya adalah pada sektor air bersih, produksi pangan serta pasokan listrik. Kekeringan juga terkait dengan kebakaran hutan, karena cuaca kering memicu perluasan kebakaran hutan dan lahan serta penyebaran asap.
Dampak dari bencana tersebut bukan hanya pada korban jiwa dan benda, namun berdampak pula pada produksi pertanian, tercemarnya sumber air serta masalah sosial yang lebih luas seperti pengungsi dan migrasi penduduk.
Walaupun kekerapan bencana meningkat secara signifikan beberapa tahun terakhir ini, pemerintah tidak melakukan kajian menyeluruh mengenai pola dan penyebab bencana tersebut.

Ancaman signifikan terjadi pada tiga sektor utama prasyarat keberlanjutan kehidupan, yaitu air, pangan dan energi. Untuk air, ancaman terbesar berasal dari meningkatnya permintaan secara signifikan dan semakin terbatasnya ketersediaan air layak konsumsi. Keterbatasan tersebut berasal dari menurunnya kualitas air (yang disebabkan oleh pencemaran, intrusi dan kerusakan pada sumber air) serta kuantitas air (akibat privatisasi, komodifikasi air serta ineffisiensi distribusi). Di Jakarta misalnya, warga yang terhubungkan dengan jaringan Perusahaan Air Minum (PAM) berjumlah kurang dari 51 persen dari jumlah keseluruhan warga . Akibatnya, sebagian besar warga mengambil air tanah (sumur, atau pompa) dan juga membeli air minum kemasan atau penjual air keliling. Padahal, sekitar 70 persen air tanah di Jakarta menunjukkan kondisi tidak layak sebagai air minum yang diperbolehkan. Akibatnya air berubah esensinya dari kebutuhan dasar menjadi komoditi. (Pada tahun 2004, DKI Jakarta memiliki jumlah penduduk sebesar 8.792.000 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 0,8% serta memiliki 2.322.178 KK. (BPS, 2003). Pemantauan terhadap 48 sumur dilakukan di Jakarta pada tahun 2004. Hasil pemantauan menunjukkan 27 sumur tercatat cemar berat dan cemar sedang dan 21 sumur lainnya terindikasi cemar ringan dan dalam kondisi baik. Wilayah yang memiliki kualitas air paling buruk adalah Jakarta Utara karena wilayah ini umumnya digunakan untuk kawasan industri dan pemukiman padat, sedangkan wilayah dengan kualitas air masih cukup baik adalah Jakarta Selatan (www.bplh.jakarta.go.id). Hasil pemantauan juga menunjukkan 15 persen sumur melebihi baku mutu untuk parameter besi (Fe) dan 27 persen melebihi baku mutu untuk parameter Mangan (Mn).dan 46 persen melebihi baku mutu untuk parameter detergen (MBAS).
70% penduduk di Pulau Jawa, tinggal dan hidup di wilayah pesisir Jawa
)

Situasi serupa juga terjadi dengan pangan. Hilangnya kedaulatan rakyat pada pangan berujung pada kasus kelaparan dan gizi buruk. Di NTT, ada 13 ribu lebih balita kurang gizi, sebanyak 36 diantaranya meningggal dunia. Kualitas sumber daya manusia Indonesia (IPM) berada di urutan 111 dari 177 negara (UNDP, 2004).

Laut Indonesia yang begitu luas, dipastikan mampu menjadi penyumbang terbesar perikanan laut di dunia, dengan menyediakan 3,6 juta ton dari produksi perikanan laut secara keseluruhan pada tahun 1997 (Burke, et all, 2002). Ironinya, di tingkat nasional, konsumsi ikan hanya berkisar 19 kg/kapita/tahun, lebih rendah dari Vietnam maupun Malaysia yang tingkat konsumsinya mencapai 33 kg/kapita/tahun. Nelayan merupakan golongan masyarakat termiskin di Indonesia dan makin terpinggirkan dari waktu ke waktu.

Revolusi hijau telah menghilangkan 75% dari 12.000 varietas padi lokal dan melahirkan ketergantungan baru pada pupuk dan pestisida kimia dari perusahaan-perusahaan asing. Keragaman hayati lokal dan ketahanan pangan rontok. Negara kita menjadi pengimpor beras murni sejak pertengahan 90an. Liberalisasi perdagangan mengubah fungsi pangan yang multi dimensi menjadi sekadar komoditas perdagangan. Bahkan WTO mengartikan ketahanan pangan sebagai “ketersediaan pangan di pasar”. Konsep ini dalam praktiknya memaksa rakyat di negara-negara sedang berkembang untuk memenuhi pangan yang akan dipenuhi oleh negara-negara maju melalui mekanisme pasar bebas, yang berujung pada malapetaka pangan di berbagai tempat.

Kedaulatan energi pun dipertaruhkan. Perusahaan-perusahaan lintas negara (Transnational Corporations atau TNC’s) telah menyedot 75% cadangan minyak kita hingga hari ini. Sementara 58% total produksi gas bumi dan 70% batubara pertahun terus di ekspor. Sementara itu, 90% kebutuhan energi rakyat Indonesia dibuat bergantung kepada BBM dan 45% rumah tangga belum dapat mengakses listrik. Tak pernah ada strategi nyata untuk mengurangi ketergantungan terhadap BBM. Yang justru dilakukan adalah dorongan untuk mengkonsumsi terus menerus yang menguntungkan segelintir orang.

Sementara itu pilihan atas energi murah, mudah diakses, dan bersih telah menjadi pilihan yang amat langka. Saat ini ketika negara takluk pada diktasi pasar bebas, rakyat yang sudah sedemikian tergantung dipaksa untuk membeli energi dengan harga pasar dunia. Kenaikan harga BBM, menurut sejumlah penelitian meningkatkan kemiskinan hingga 11 %. Total rakyat miskin di Indonesia setelah lonjakan kenaikan BBM menjadi 41%.

Kenaikan harga barang-barang konsumsi, daya beli yang rendah, tidak tersedianya lapangan pekerjaan bukan saja meningkatkan jumlah penduduk miskin.
Di sisi yang lain banyak liputan media menunjukkan perubahan pola konsumsi terutama perempuan dan anak-anak. Rakyat terpaksa bersiasat mengurangi asupan gizi demi membeli minyak tanah.

Kemudian, berkurangnya lapangan pekerjaan ditambah naiknya harga barang yang dipicu mendorong rakyat ikut serta merusak lingkungan demi sesuap nasi. Maraknya keterlibatan rakyat dalam pertambangan illegal yang merusak lingkungan di Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Papua adalah fakta gagalnya negara menjamin penghidupan warganya.

Dari fenomena diatas, aspek penting untuk diperhatikan adalah pola perusakan ekologi dan pola iklim. Untuk krisis air misalnya, Jawa-Bali diprediksi akan segera mengalami krisis. Namun fenomena ini tidak dijadikan pelajaran oleh daerah lain, seperti Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi yang sudah semakin sering mengalami krisis air. Pada musim kemarau kita selalu kekurangan air dan pada musim hujan kita kebanjiran, ini mengindikasikan bahwa semua infrastruktur yang dibuat untuk merekayasa lingkungan telah gagal, karena sumber masalah tidak ditangani dengan sungguh-sungguh. Krisis demi krisis akibat salah urus ini kemudian berujung pada bencana ekologis yang kian nyata terlihat.

Bencana Ekologis

Bencana ekologis adalah akumulasi krisis ekologis yang disebabkan oleh ketidakadilan dan gagalnya sistem pengurusan alam yang telah mengakibatkan kolapsnya pranata kehidupan masyarakat.

Saat ini keberlanjutan Indonesia berada dititik kritis karena bencana ekologis yang terjadi secara akumulatif dan simultan di berbagai tempat, tanpa ada upaya yang signifikan untuk mengurangi kerentanan dan kerawanan masyarakat terhadap dampak bencana ekologis.

Tanda-Tanda Bencana Ekologis
Pertanda bencana ekologis justru ada didepan mata dimana masyarakat sebagai stakeholder utama dan lingkungan hidup berada pada kondisi:

1.
Ketiadaan pilihan untuk bertahan hidup
Pada banyak tempat, komunitas masyarakat sampai pada ketiadaan pilihan untuk bertahan hidup. Komunitas Melayu yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian di sepanjangan Daerah Aliran Sungai Siak harus merubah mata pencahariannya ketika puluhan perusahaan konsesi kehutanan menyerobot alih lahan-lahan masyarakat. Masyarakat kemudian beralih menjadi nelayan sungai. Berdirinya industri pengolahan disepanjang Sungai Siak ditambah kegagalan pemerintah dalam mengatur buangan limbah membuat sungai tercemar sehingga hasil tangkapan menurun drastis. Ketiadaan pilihan tersebut pada akhirnya membuat sebagian besar masyarakat melayu yang berada disepanjang Sungai Siak bermigrasi ke daerah lain sebagai buruh pekerja sedangkan sebagian kecilnya tetap bertahan sambil mengharapkan bantuan dari sanak saudara yang bekerja ke Malaysia, juga sebagai buruh.

2. Gagalnya fungsi ekosistem
Kegagalan fungsi pemerintah mematuhi deregulasinya menyebabkan rusaknya fungsi-fungsi ekosistem. Banyak perkebunan-perkebunan skala besar, Hak Pengusahaan Hutan maupun industri tambang yang menyerobot wilayah masyarakat yang selama ini telah menciptakan simbiosis mutualisme dengan ekosistem sekitarnya, memasuki daerah tangkapan air, memotong home range spesies yang dilindungi,dll.
Industri-industri tersebut kemudian menjadi parasit bagi ekosistem sekaligus memperlemah ekosistem yang ada. Pada satu titik, kegagalan ekosistem tersebut kemudian harus dibayar dengan sejumlah bencana banjir, longsor, hama baru, malaria, konflik satwa dengan manusia, dll.

3. Ketersingkiran
Kebijakan negara yang tidak mengakui hak-hak masyarakat lokal membuat
ratusan komunitas harus menyingkir dari tanahnya sendiri ketika industri-industri berskala besar dukungan pemerintah mengambil alih tanah-tanah mereka. Hingga hari ini, konflik-konflik kepemilikan lahan masih terus berlangsung tanpa satupun memberikan indikasi yang positif terhadap hak-hak masyarakat terhadap kepemilikannya.


4.Kemiskinan
Disebutkan bahwa pembangunan industri-industri berskala besar tersebut ditujukan untuk menyejahterakan masyarakat. Fakta yang ditemui malah justru bertolak belakang dengan jargon tersebut. Menarik bila dilihat bahwa justru kantong kemiskinan terbanyak malah jutsru paling banyakdi daerah-daerah yang kaya dengan sumberdaya alam.Di Sumatera, 64 persen masyarakat miskin malah justru berada di sekitar konsesi-konsesi perkebunan dan kehutanan. Di kawasan industrinya sendiri banyak ditemukan para buruh yang dipaksa untuk bekerja 18 jam sehari dengan bayaran yang hanya bisa memenuhi kebutuhannya sampai dengan akhir bulan. Penyakit kurang gizi adalah satu hal yang lumrah dan bisa disaksikan dimana-mana.

5. Kematian
Pada akhirnya kegagalan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dan ketidakmampuannya menjamin fungsi-fungsi ekologis telah menciptakan sejumlah tragedi yang mengambil korban nyawa. Dalam tujuh tahun terakhir hampir tujuhratus orang meninggal dunia dengan sia-sia akibat bencana banjir dan longsor yang disebabkan kegagalan fungsi ekosistem. Ribuan lainnya harus mengulang kehidupannya dari awal.

PRA-SYARAT untuk menyelamatkan INDONESIA dari bencana ekologis
Untuk menahan dan mengurangi laju bencana ekologis yang lebih luas maka diperlukan beberapa pra-syarat, sebagai berikut:
1. Reorientasi visi pembangunan dari pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menjadi masyarakat berkelanjutan (sustainable societies)
2. Mengedepankan pendekatan bioregion dan meninggalkan paradigma sektoral dalam pengelolaan aset alam dan wilayah.
3. Menyelesaikan konflik agraria dan sumberdaya alam, diikuti dengan reforma agraria sejati
4. Mengembangkan partisipasi sejati rakyat dalam pembangunan dengan indikator organisasi rakyat yang kuat, kritis dan mandiri
5. Membangun resiliensi dan resistensi rakyat terhadap privatisasi dan komodifikasi sumber kehidupan
6. Mengakui kearifan lokal pengurusan sumber-sumber kehidupan dan mendudukkan kembali peran negara sebagai penjamin hak konstitusional warganegara

Sabtu, 15 Maret 2008

Kepentingan Politik Versus Kepentingan Kemanusiaan


Genangan air Bengawan Solo yang merendam 117 desa di 14 kecamatan di Bojonegoro, pada awal tahun 2008, membuat pemerintah harus memegang kepala yang kesekian kalinya. WALHI Jawa timur, WALHI Jogjakarta dan WALHI Eksekutif Nasional dengan segenap komponen masyarakat dan mahasiswa mendirikan sebuah posko Bojonegoro Crisis Centre. Dari posko inilah semua komponen ini melakukan mandat kemanusiaannya. Pusat kordinasi yang berpusat di alun-alun kota, menjadi harapan semua komponen untuk bisa berkordinasi dalam penanganan banjir di Bojonegoro. Harapan tinggal harapan, ternyata kepentingan politik lebih berpengaruh dari pada kepentingan kemanusiaan.

Banjir yang melanda Bojonegoro berbarengan dengan berakhirnya Pemilihan Kepala Daerah Bojonegoro. Sayangnya sang terpilih belum dilantik sehingga tidak memiliki kekuatan untuk mengkordinasikan seluruh perangkatnya dalam merespon musibah ini. Lebih disayangkan lagi tak terpilih angkat tangan dengan musibah yang menimpa warganya. ”Siapa suruh gak milih saya!!!” , sebuah statement yang keluar dari mulut tak terpilih ketika seluruh masyarakatnya teriak atas ketidak berdayaan mereka. Hektaran sawah gagal panen, ratusan rumah terendam, pasokan makanan menipis, hal ini tidak membuat tak terpilih untuk meninggalkan kesan tanggungjawab kepada warga di akhir jabatannya.

WALHI bersama komponen masyarakat dan mahasiswa setempat, mencoba untuk mendorong SATKORLAK untuk menjalankan perannya sebagai pusat kordinasi, lagi-lagi hal itu tidak terwujud. Aksi mematikan telpon genggampun dilakukan Kepala SATKORLAK ketika seorang anggota DPRD menghubungi untuk menanyakan kondisi terakhir Bojonegoro. Hal itu dilakukan anggota DPRD karena banyak masyarakat yang mengeluh karena Bupatinya tidak melakukan tindakan responsif terhadap kondisi tersebut. Kekecewaan karena tidak terpilih sebagai Bupati adalah akar dari ketidakpedulian pemerintah daerah Bojonegoro terhadap musibah yang terjadi.

Semua inisiatif muncul dari masyarakat. Mulai dari ngecrek di pinggir jalan, mendatangi posko-posko bantuan sampai kepada membangun relasi sosial antara desa terendam dengan desa yang tidak terendam. Kordinasi antar posko juga dilakukan oleh sekelompok mahasiswa lewat Bojonegoro Institute.

Praktis SATKORLAK tidak melakukan fungsi kordinatif sebagaimana mestinya. Pemerintah daerah sebagai institusi yang harus bertanggungjawabpun tidak melakukan tugasnya dengan baik. Krisis kepercayaan akan terus tumbuh di Republik Bencana ini ketika kepentingan politik lebih dikedepankan dari kepentingan kemanusiaan.

Tegal Parang, 16 Maret 2008 00:48

Bruang Bangor

Minggu, 02 Maret 2008

Jakarta Kebanjiran


Lagi-lagi banjir menggenangi Ibu Kota Jakarta. Masalah yang muncul ga berbeda dengan banjir-banjir sebelumnya, malah semakin bertambah. Dari mulai kemacetan lalu lintas, akses jalan terputus sampai mbolosnya para karyawan dan pegawai negeri dari perusahaan dan instansi tempat mereka bekerja. Alasannya cukup konkrit, jalanan banjir!!.

Jakarta memang kota metropolitan, tapi responnya terhadap banjir akhir-akhir ini kok ndeso banget. Joke pun mulai bermunculan, mulai dari mobil FOKE sampai kepada pengharusan penerapan PERPRES No.36/2005 oleh WAPRES JK. Di salah satu media cetak online FOKE sempat mengutarakan kegagahannya menggunakan mobil sekelas STRADA. Sakit!!!

Tahun demi tahun wilayah sebaran banjir di DKI Jakarta makin meluas. Warga perumahan megah sudah tidak dapat lagi tidur dengan nyenyak ketika hujan turun terus menerus mengguyur kawasannya. Perasaan was-was sambil mengemas-ngemaspun dilakukan. Maklum ”warga baru” daerah banjir!!!.

Sepertinya kita sudah lupa dengan pelajaran IPA saat disekolah dasar tentang sifat dan karakter air. Sehingga kita tidak pernah menolak kebijakan-kebijakan pemerintah yang bisa ”mendatangkan air” ke rumah-rumah kita.

Alih fungsi lahan dan mudahnya izin pendirian bangunan di DKI Jakarta berimplikasi semakin minimmnya kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai kawasan resapan air dan parkir air. Padahal dalam master plan DKI Jakarta tahun 1965-1985 Ruang Terbuka Hijau masih ada 27,6 persen. Kemudian pada Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) tahun 1985-2005 pemerintah hanya memproyeksikan RTH 26,1 persen. Dan pada priode ketiga yang dimasukkan dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta tahun 2000-2010, DKI Jakarta hanya memproyeksikan RTH 13,49 persen dari seluruh luasan Kota Jakarta. Dan dari data yang dikeluarkan oleh Dinas Pertamanan dan Keindahan Kota pada tahun 2001 menyatakan bahwa RTH di DKI Jakarta hanya mencapai 9 persen.

Konversi lahan RTH di DKI Jakarta berupa Hutan Kota, Taman kota dan cagar buah justru terjadi setelah keluarnya Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Perkotaan. Dimana dalam peraturan ini menyatakan bahwa setiap kota harus mengalokasikan Ruang Terbuka Hijau sebesar 40-60 persen dari seluruh luasan kota. Dari periodeisasi pengelolaan ruang/lahan, dapat diketahui bahwa percepatan revisi RUTR tahun 1985-2005 menjadi Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta tahun 2000-2010 merupakan bentuk legitimasi pemerintah untuk melakukan pemutihan dan alih fungsi lahan RTH menjadi kawasan komersil. Dari data yang ada dapat diperkirakan bahwa disepanjang tahun 1990 hingga tahun 1997 telah terjadi ekploitasi besar-besaran RTH. Dan mengalami peningkatan tajam disepanjang tahun 1999-2006. Alih fungsi lahan yang tampak kasat mata adalah pembangunan apartemen dan pusat-pusat perbelanjaan di kawasan selatan dan timur Jakarta. Padahal sesuai dengan Perda Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta tahun 2000-2010 menyatakan bahwa kawasan Jakarta Selatan merupakan kawasan konservasi air.

Pada tahun 2006, lebih dari 30 pusat perbelanjaan, apartemen dan perkantoran skala besar dibangun diseluruh Jakarta. Pada periode 2007-2008, diproyeksikan akan dibangun sekitar 80 bangunan sebagai pusat perbelanjaan, apartemen, dan perkantoran baru. Pembangunan gedung-gedung tersebut juga akan menambah beban bagi ekologi karena minimnya lahan yang ada di Jakarta. Dan ditenggarai menyebabkan hilang dan rusaknya banyak situ,danau dan rawa-rawa yang merupakan daerah parkir air.

Konversi lahan basah (wetland) berupa situ (danau kecil) dan kawasan esturia (Hutan Angke Kapuk dan hutan kota di Pademangan) serta di berbagai kawasan di Jakarta menjadi daratan dengan tujuan pemukiman, lapangan golf, kondominium atau sentra bisnis (mall, plaza), telah menghilangkan fungsi kawasan parkir air. Ribuan meter kubik air yang tidak mempunyai tempat parkir, berimplikasi pada terjadinya genangan di mana-mana. Tak pelak lagi, petaka banjir besar terjadi di Jakarta dan sekitarnya.

Minimnya keberpihakan dalam pengelolaan lingkungan hidup telah memicu percepatan bencana ekologis di DKI Jakarta. Hutan Angke Kapuk misalnya sebelum dikonversi menjadi daratan merupakan rawa-rawa hutan bakau dengan kedalaman air rata-rata 0,8 m. Dengan luas rawa alami 1.140,13 Ha atau seluas 11.401.300 M2 maka rawa-rawa tersebut mampu menampung air hingga 9.121.040 M3. Ketika selesai kawasan yang direklamasi luasnya mencapai 831,63 Ha untuk peruntukan komersil, maka akan dikemanakan 6.653.040 M3 air yang selama ini parkir di kawasan tersebut?. Kerusakan yang terjadi pada situ/danau ditandai dengan adanya pendangkalan situ, pengurukan situ dan alih fungsi situ. Sekitar 80 persen situ yang tersebar di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi diketahui mengalami kerusakan. Berdasarkan data Kementrian Lingkungan Hidup, ada 205 situ di Jabodetabek mengalami kerusakan. Dari jumlah tersebut, 115 diantaranya dalam kondisi kritis dan dan sisanya rusak sedang.

Banjir dan kekeringan di Jakarta telah menjadi bagian dari kehidupan bagi rakyat Jakarta, akan tetapi sampai kapan rakyat akan terus menderita dan akan mampu bertahan dengan kondisi seperti ini. Bila melihat data dan fakta yang ada jelas-jelas bahwa banjir yang terjadi di Jakarta merupakan murni bencana ekologis. Bencana yang terjadi akibat keserakahan dan salah urusnya sumber daya alam yang ada di kota Jakarta maupun dikawasan peyangggah Jakarta.


Tegal Parang, 3 Februari 2008 00.33 WIB


Beruang Bangor