Rabu, 19 September 2007

Neo Teologi Banjir


Salah satu fenomena air yang patut diperhatikan kita adalah bencana banjir yang akhir-akhir ini sering menimpa berbagai daerah, terutama tanah air. Banjir adalah salah satu bentuk bencana yang diakibatkan oleh air. Misalnya, karena, curah hujan tinggi, air menggenangi daratan. Kemajuan teknologi yang dimiliki oleh manusia tidak bisa memastikan secara pasti kapan turun hujan, bagian bumi mana yang akan terkena hujan, sampai kapan hujan berlangsung; sejauh mana kekuatan curahnya, apakah hujan bisa berubah menjadi banjir besar dan membawa malapetaka. Semua itu hanya Allah yang mengetahuinya. Badan Meteorologi dan Geofisika hanya bisa memperkirakan apa yang akan terjadi berdasarkan fenomena udara dan alam. Dari fenomena itu, kita bisa menyimpulkan apa yang akan terjadi besok. Namun, ini tidak lebih dari sekedar perkiraan dan upaya penyimpulan. Sering pada kenyataannya berbeda sama sekali. Sering pula mereka menganggap remeh sesuatu, tetapi ternyata justru mengejutkan mereka dengan bencana yang di kandungnya, atau sebaliknya. Allah menciptakan air itu sesuai dengan ukurannya, untuk keperluan manusia dan makhluk hidup yang lain di bumi.

Bencana banjir bisa disebabkan oleh kelalaian manusia ataupun kecerobohannya. Bisa juga Allah menghendakinya. Ada hujan yang dikatakan sebagai rahmat ada juga yang dikatakan sebagai laknat. Seperti yang terjadi pada kaum nabi Nuh di mana mereka tidak tunduk dan patuh pada apa yang diajarkan oleh nabi Nuh. Bahkan sampai anaknya sendiri, karena tidak patuh pada bapaknya ikut tenggelam di dalamnya. (QS. al-Hâqqah/69: 11).

Mujiyono Abdillah dalam bukunya Agama Ramah Lingkungan, mengungkapkan bahwa banjir bukan fenomena kemurkaan Allah semata, akan tetapi merupakan fenomena ekologis yang disebabkan karena perilaku manusia dalam menentang sunnah lingkungan.

Kata âyâtinâ (ayat-ayat Kami) dalam al-Qurân bukan berarti ayat-ayat tertulis saja, tetapi lebih luas lagi, yakni meliputi ayat-ayat yang tidak tertulis yaitu ayat-ayat yang terhampar dalam lingkungan. Lebih jauh lagi ayat-ayat banjir hanya mengungkapkan akibat banjir kaum Nabi Nûh dan kaum ‘Ad, tanpa mendeskripsikan alur kejadian dan penyebabnya. Dengan demikian, penyebab terjadinya kedua banjir legendaris itu dapat dilacak dengan pola tafsir ekologis. Pendekatan ekologis untuk menafsirkan ayat-ayat banjir tersebut melahirkan rumusan banjir nabi Nuh dan Nabi Hud adalah bukan semata-mata sebagai musibah apalagi azab dari Allah, melainkan sebagai fenomena ekologis yang tidak mengikuti sunnah lingkungan.

Refleksi teologis baru tentang banjir yang demikian akan melahirkan sikap ekologis yang positif dan tanggung jawab yang kuat bagi manusia terhadap kejadian banjir. Karena manusia modern cukup dominan dalam pengelolaan lingkungan yang potensial menjadi penyebab banjir, maka manusia merupakan makhluk yang paling bertanggung jawab terhadap fenomena banjir dan bertanggung jawab pula untuk mencegah terjadinya banjir. Oleh karena itu, mu’min sejati adalah mu’min yang mencegah terjadinya banjir.

ciputat ..... februari 2007

Tidak ada komentar: